Menikah, menjalankan sunnah adalah suatu hal yang akan dilalui bagi setiap insan. Tak terkecuali aku yang memilih menikah di usia yang bisa dikatakan muda. Setiap pasangan yang menikah artinya dia membangun sebuah keluarga baru, bukan sekedar mengucap ijab dan kabul tapi ada dokumen lainnya yang mencatat bahwa sudah menjadi suami istri yaitu buku nikah, lalu surat lain yang membuat sebuah pasangan legal sebagai keluarga adalah Kartu Keluarga.
Keinginan untuk membuat Kartu Keluarga baru dan mengganti KTP dari lajang menjadi menikah sudah ada, namun selalu ada alasan untuk tidak melakukannya, toh masih pasangan baru, begitu dalam benak kami hingga tak terasa sudah 10 bulan ini sah menjadi pasangan suami istri. Belum lagi jarak yang jauh bagi saya untuk mengurusi surat pindah dan ini itu, jadi bayanginnya aja ribet bikin males. Padahal setelah mencoba googling ternyata tidak terlalu ribet dan mudah juga (cuma lama).
Kebetulan akhir September lalu aku mendapat telfon dari eyang uti, aku juga salah terlalu sibuk dengan pekerjaan, memprioritaskan laporan akhir bulan ketimbang telfon keluarga yang nun jauh disana. Sampai pada akhirnya hatiku kelu setelah eyang uti telfon bahwa beliau kangen sambil nangis, usut punya usut, bunda bilang eyang uti sakit ini itu tapi gak mau ke dokter. Tak lama setelah kubujuk ke dokter akhirnya uti mau, hasilnya uti keracunan. Aduh tambah hatiku gak enak, jeleknya lagi aku jadi berfikir negatif mengingat uti udah sepuh, udah 70 tahun. Coba cari tanggal pulang akhirnya dapet tanggal pas 8-12 Oktober aku berada di Driyorejo.
Entah dapet pikiran dari mana, aku langsung punya keinginan untuk sekalian ngurus surat pindah untuk membuat Kartu Keluarga baru, harapannya biar nanti kalau aku dikasih rejeki hamil oleh Allah, anakku bisa langsung dibikinkan akte kelahiran. Sapa tau dengan persiapan seperti ini, niat baik kayak gini, eh Allah menghendaki, Aamiin.
Ini menjadi kali ke 2 untuk urusan pindah Kartu Keluarga, yang pertama saat pindah dari Surabaya ke Gresik, Ya meski Driyorejo lebih dekat ke Surabaya tapi wilayahnya termasuk Kabupaten Gresik. Lalu yang kedua ini pindah dari Gresik ke Tangerang dengan status sebagai istri orang.
Awalnya aku antusias, senang akhirnya menjadi keluarga baru, gak ribet urusan pajak, gak ribet urusan BPJS, gak ribet kalau nanti bikin akte kelahiran anak, dan aku berhijrah ke Tangerang.
Tapi makin kesini disaat surat akan dikirim ke Dinas Kependudukan, aku jadi berfikir tentang Bunda. Tentang Kartu Keluarga bunda. Aku sedih mengingat bunda yang namanya akan tertulis sendiri lantaran namaku yang dicoret karena akan memiliki kartu keluarga baru dengan suamiku sebagai kepala keluarganya. Sedih rasanya, bunda yang sudah menjadi kepala keluargaku selama 22 tahun 6 bulan, yang berperan ganda sebagai ibu dan ayah, setelah ayah meninggal diusiaku yang masih 6 bulan dan belum menikah lagi hingga kini, dia akan kutinggal seorang diri.
Bagiku ini bukan sekedar membuat Kartu Keluarga, tapi aku lebih sadar lagi bahwa setiap membangun keluarga baru, pasti ada keluarga yang ditinggalkan, seperti halnya aku saat ini. Kalau dulu belum begitu terasa tapi kini aku mengerti kenapa orang tua antara sedih dan bahagia ketika menikah, salah satunya karena ini, apalagi kebetulan aku sudah yatim dari kecil dan tidak memiliki saudara kandung, jadilah bunda saja yang nanti bakal ada di kartu keluarga.
Tapi kehidupan terus bergerak, ketika aku memiliki keluarga baru dengan suamiku, aku akan memiliki anak dan akan merasakan siklus seperti ini juga kedepannya. Terhapusnya namaku dari kartu keluarga bukan berarti menghapus ikatanku sebagai anak kepada ibunya, aku tetap bisa mencurahkan kasih sayang, doa, dan kebahagiaan untuk bunda.
Setelah ini, artinya aku sudah memasuki babak baru, New Chapter In My Life Is Build A New Happy Family. I’m ready as a wive and He also ready as a husband. For the next, we are ready to get many childs. Aamiin.
Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatu
Driyorejo, 12 – 10 – 2016 , 00 : 08 AM
Genap 10 bulan menikah.