Langit akhlak telah roboh di atas negeri
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini
Negeriku sesak adegan tipu-menipu
Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku
Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan
Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan
Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan
Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan
Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan
Berjuta belalang menyerang lahan pertanian
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api
Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti
Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri
Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini
Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api
Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Kukenangkan tahun ?47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga
Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri
Seluruh korban empat tahun revolusi
Dengan Mei ? 98 jauh beda, jauh kalah ngeri
Aku termangu mengenang ini
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan
Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?
Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
Puisi karya Sapardi Djoko Darmono ini pernah kubawakan dalam lomba Porseni Nasional di Palembang. Kebetulan aku mewakili kampusku dari Jakarta Utara. Meski kalah namun aku senang bisa menjadi salah satu peserta yang berkompetisi dengan penyair berbakat seantero negeri. Walau sang juara kala itu agak sedikit diragukan kemenangannya. Tapi toh aku tidak kaget, karena bukan kali pertama aku ikut lomba puisi dan gagal juara lantaran ada sedikit “politik” yang entah itu benar atau tidak. Yang jelas aku sering mengisi acara dengan membaca puisi di beberapa perayaan dinas hingga tingkat Provinsi.
Hari ini tiba-tiba aku rindu dengan puisi, sudah lama sekali aku tidak membuat sajak bahkan membacanya, namun gara-gara tadi pagi aku mengetahui bahwa seorang selebgram memakai jasa obgyn yang sama denganku lalu aku mencari tahu profil obgynku di google maka ketemulah aku pada sebuah blog yang berjudul “The Unborn Patient”. Itu adalah blog dokter kandunganku yang postingan terakhirnya adalah tentang puisi Ismail Marzuki yang berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Awalnya aku tidak mengira bahwa blog dokterku isinya puisi, aku juga mengira bahwa puisi itu ciptaanya sampai di bait “Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak“yang mengingatkan aku pada puisi Sapardi Djoko Darmono yang pernah kubaca “Langit akhlak telah roboh di atas negeri“, Aku masih mengira itu merupakan saduran puisi yang dia buat, sampai aku mencari tahu tentang puisi itu yang tenyata karya maestro sastra Taufik Ismail.
Aku dan puisi dulu pernah begitu dekat, sewaktu kecil eyang putri selalu mengantarkanku mengikuti ekstra kulikuler sekolah membaca puisi dengan seorang penyair yang bernama Nanang, kebetulan beliau memang seorang pengajar puisi di Taman Budaya Cak durasim Surabaya. Untuk meningkatkan kemampuanku selain aku belajar membaca puisi di sekolah, aku pun ikut belajar di Cak Durasim setiap hari minggu. Latihan dan latihan membuatku semakin suka dan akhirnya sering ikut lomba, meski sering gagal tapi aku kala itu biasa saja karena memang suka. Tapi lantaran sering tidak juara akhirnya sekolah memutuskan menghapus ekstra kulikuler tersebut dan menggantinya menjadi drama. Aku tetap mengikuti ekskul drama yang gurunya tetap Pak Nanang juga tapi tiap minggu aku tetap belajar membaca puisi.
Tapi selepas sekolah dasar, aku mulai renggang dengan puisi karena aku diharuskan pindah rumah yang jauh dari Cak Durasim sehingga aku putus latihan. Tapi aku tetap suka dengan puisi, aku menjadi sering membuat puisi di buku diary. Nah itu mungkin salah satu cikal bakal aku suka menulis yang ujung-ujungnya beralih menjadi blogger saat ini. Di awal blog ini masih terselip postingan berbentuk puisi meski jauh dari bahasa sastrawi. Ya mungkin karena sudah lama tidak berlatih. Namun sekarang sudah tidak ada sama sekali. Bahkan untuk membuat tulisan dengan menggunakan bahasa yang sedikit sastra pun aku merasa sulit. Berganti dengan tulisan renyah haha hihi.
Ah aku dan puisi, ingin rasanya belajar lagi… mengingat aku dulu pernah begitu suka dan dekat.. kini aku ingin mengasahnya kembali.
Dan puisi Ketika Burung Merpati Sore Melayang sangat pas untuk ditelaah kembali saat ini lantaran sudah banyak kejadian yang menyesakkan negeri. Ya walaupun tidak sampai porak-poranda setidaknya negeri ini sedang dirundung masalah akibat robohnya akhlak demi meraup kekuasaan semata.
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini
Negeriku sesak adegan tipu-menipu