Hari itu mungkin tidak akan kulupakan sepanjang hidup, 10 November 2018, bukan sekedar hari Pahlawan yang nyatanya menelan korban di Surabaya lewat tragedi penonton jatuh dari jembatan kereta api ketika menonton parade di depan Balaikota, tapi itu juga menjadi hari berkabung bagiku.
Pagi itu, dengan semangat dan keceriaan aku berangkat menuju Rumah Sakit bersama suami dan Nurani untuk melakukan check bulanan kehamilanku yang kedua. Kami sengaja berangkat pagi-pagi selepas Subuh agar mendapat nomor antrian awal, mengingat jadwal praktek dokter Yuditiya di hari Sabtu sangat ramai.
Kami mendapat antrian nomor 6, sementara makin banyak pasangan yang datang untuk antri mendaftar. Kami menunggu sambil sarapan dengan bekal yang sudah dibawa dari rumah. Waktu itu Nurani hampir 1 tahun ketika aku hamil 10 minggu. Memang kehamilan ini tidak disangka, karena Nurani adalah hasil penantian kami 2 tahun pernikahan.
Ketika akhinya aku diperiksa untuk di USG, mulai ada yang aneh. Janin tidak terlihat menggunakan USG perut. Lalu dokter Yuditia Purwosunu mengganti dengan USG transvaginal, untuk melihat lebih jelas janin. Seharusnya di usia kandungan 10 minggu, janin sudah terlihat mengingat waktu hamil Nurani 9 minggu dulu, ukuran janinnya sudah memanjang dan waktu itu sempat dapet warning karena Nurani kejepit Kantong Kemih yang bengkak akibat ISK. Namun ini masih berbentuk bulat, posisinya ditengah-tengah seolah terombang ambing di tengah air ketuban.
Dokter Yudit pun mencoba mendengarkan suara detak jantung bayi dengan mengeraskan audio dari mesin USG 4G nya. Namun detak jantung yang waktu aku periksa pertama kali di usia kandungan 5 minggu itu ada ternyata hilang di 10 minggu ini. Dokter Yudit pun mengatakan kalau usia janinnya jadi 6 minggu dan itu artinya janinnya sudah meninggal 1 minggu dari aku periksa. Janin tersebut tidak berkembang. Aku sempat tidak percaya, bahkan seingatku, aku masih bisa tersenyum karena ku kira itu masih bisa ditolong. Aku pikir masih bisa diberi obat atau apa gitu untuk memperbaikinya. Namun ternyata aku dihadapkan dengan pilihan mau dikuret hari ini atau di lain hari atau mencari second opinion.
Namun suamiku mungkin pikirannya lebih bijak atau waras atau apa lah, lebih menerima mungkin. Dia ingin aku menjalani kuret hari itu juga. “Mau nunggu apa ?” gitu katanya. Dokter Yu pun tidak menyarankan menggunakan obat peluntur karena menurut dia, kondisi rahimku itu sangat baik. Dinding rahimnya sudah tebal, plasentanya bagus, pokoknya secara “wadah janin” itu “oke” dan tidak ada keluhan seperti keram perut atau flek, sehingga jika diberi obat takut tidak bersih. Apalagi aku punya pengalaman penggumpalan darah nifas pasca melahirkan Nurani, dimana nifasku sedikit yang ternyata tertahan di dalam rahim jadi harus diberi obat tambahan untuk membuat rahimku lebih bersih.
Menjalani Kuretase
Ceritanya, tulisan diatas udah ngendon lama. Sebagai bagian dari tulisanku tentang “Buah Hati Yang Pergi”. Cuma belum cukup kuat hatiku menulis panjang tentang hal ini. Namun memang punya niat ingin share tentang proses kuretase yang kualami. Kebetulan kemarin aku mendapat DM Instagram yang cukup panjang membahas proses kuretase itu gimana dan apa saja. So kali ini aku mau sharing pengalamanku menjalani kuret.
Aku menggunakan proses kuret bius total yang dilakukan di ruang operasi, sakit mir ? alhamdulillah engga cuma laper banget yang aku rasakan dan sedih tentunya.
Jadi setelah suami menyetujui kuret pada hari itu juga, kami mendaftar untuk tindakan kuret ke suster jaga. Disitu kami mengisi formulir persetujuan melakukan kuret. Kami memilih fasilitas kelas 2, lalu suster menjelaskan apa saja proses yang akan dilalui sembari melengkapi berbagai proses administrasi yang ada.
Setelah itu aku masuk kamar, aku tidak diperkenankan makan dan hanya boleh minum air putih, sekitar jam 8-9 pagi aku sudah puasa, katanya aku akan menjalani tindakan jam 16.00. Di kamar aku berdua Nurani dan suami ngasih kabar ke orang tuaku.
Lalu sekitar 11-12 siang gitu, aku didatangi suster untuk memberikan obat. Obatnya seperti induksi karena dimasukkan ke dalam vagina. Setelah diberikan obat itu aku diminta tiduran dan ga boleh banyak gerak, tapi ya gimana wong sama nurani gitu, dikit-dikit ya masih gerak dong. Oh ya aku juga masih menyusui Nurani jadi ya bisa dibayangkan gimana lapernya aku.
1 jam setelah dikasih obat akhirnya aku ga tahan untuk turun dari kasur karena kebelet ke kamar kecil, ternyata sudah ada flek meski ga banyak sehingga aku mulai pake pembalut.
Jam 16.00 aku nunggu dokter yudit, tapi beliaunya masih banyak pasien katanya. Flek aku masih sedikit dan ga ada rasa apa-apa di perut, apa ada nyeri dikit ya, habis agak susah membedakan sama nyeri laper hehehe
Akhirnya sekitar jam 17.30 apa ya, aku mulai dibawa ke ruang operasi, aku masuk ke ruang tunggu dan ganti baju operasi, semua perhiasan gak boleh dipake. Pembalut juga dicopot pokoknya pyur pake baju operasi aja.
Kesan pertama masuk ruang operasi tuh dingin, ples deg degan, ga lama susternya dateng pasang alat detak jantung dan temen-temennya, terus tensi dan pas itu ada dokter anestesi, tensiku sedikit tinggi kalo ga salah waktu itu jadi diajak ngobrol dulu soalnya ga bisa di bius kalau aku terlalu tegang. Sampe akhirnya tensiku turun, dan aku dibius di tangan
Gak lam dokter yudit dan asistennya laki-laki masuk. Dan aku pun tidur….
Gak tau ceritanya gimana, pokoknya bangun aja digoyang-goyang sama si mas asisten dokter itu terus dipasang pembalut dan pindah kasur. Aku yang antara sadar dan tidak itu di dorong ke lorong ruang operasi karena ruang tunggu operasi lagi penuh. Pas banget abis gitu dokter yudit lewat dan dia teriak dong nyuruh suster pindahin aku ke ruang tunggu jangan di lorong gitu.
Momen ter so sweet dokter Yudit, jadi pas dia habis dorong aku ke ruang tunggu / ruang obervasi gitu, dia keluar dan nemuin suamiku yang waktu itu lagi gendong Nurani. Dia nguatin suamiku dan ngomong gini sambil elus kepala Nurani “Yang sabar ya Aisyah, Nanti punya adek lagi ya”, gitu dong….
Pas semuanya dirasa baik-baik aja, aku pun keluar dari ruang operasi dan masuk ke ruang perawatan. Aku makan karena laper, pusing dan sedikit mual.
Jadi pas kuret itu aku ga ada jahitan dan robekan meski kesannya kok masuk ruang operasi, jadi si obat induksi tadi yang bekerja, aku seolah seperti orang yang mau melahirkan dan pembukaan gitu, vaginanya melebar atau istilahnya dilatasi, nah janin yang ada dibersikan melalui vagina yang sudah terbuka, ini namanya proses kuretasi. Karena aku bius total, jadi ya aku ga ngerasain apa-apa, tidur aja gitu.
Janin dan jaringannya diberikan ke suami setelah di obeservasi oleh suster.
Aku pulang malam itu juga, mengingat aku membawa Nurani. Jadi prioritas sekarang pindah ke gimana Nurani
Selang sehari, janinku dikubur…. Ternyata Janinnya kan ada cairan, pas dibuka mau dicuci kok cairan tadi panas, jadi harus hati-hati karena bikin pedih mata juga, kemungkinan itu alkohol sih ya.
Semua berjalan lancar, ga ada sakit sama sekali dan aku pun nifas seadanya.
Selang sehari dua hari mulai kerasa sedihnya, apalagi kalau ke kamar mandi dan melihat nifas berupa lendir jaringan, rasanya itu seperti anakku gitu. Sedihnya tuh disitu, apalagi suami langsung dinas luar kota, aku ngerasa sendiri dan kesepian ga jelas.
Tapi ya semua mungkin sudah jalan Nya. yang terbaik mungkin seperti itu.
Sekarang pun aku sedang ingin ikhtiar anak kedua. Sebenarnya sudah mulai serius pasca umroh kemarin. Tapi sampai saat ini nyatanya belum berhasil. Kalau pun mau program ya kudu persiapa, syukur-syukur bisa alami ya kan… Insya Allah kalau mau program lagi aku cerita ya.
Maaf kalo ceritanya lonca-loncat, tapi semoga ada manfaat